Membaca Pembangkang Jawa
Ada enam karya seni rupa dari empat puluh tujuh karya yang terpamerkan di Museum Kartini Rembang saat itu (14-17/04) yang membuat saya jatuh cinta. Enam karya seni itu adalah karya milik Ima Novilasari dengan tema “Kebangkitan Pembangkang Jawa (feodalisme)”, karya milik Muchadi dengan tema “7 Bidadari Dari Negeri Seberang”, karya Diani Fauziyah dengan tema “Tak Lemah Lembut”, lagi karya hasil Ima Novilasari dengan tema “Keadilan Kodrati (Emansipasi)”, karya milik Iwan Roses dengan tema “Hawa”, dan satu lagi karya miliki “Kokoh Nugroho” dengan tema “Ini Ibu Budi”. Dengan kuncup tangan ini, tulisan kali ini terinspirasi dari karya tapestri mbak Ima Novilasari, tepatnya karya seni tekstil rajutan yang elok, yang bertera “Kebangkitan Pembangkang Jawa”.
Perempuan Melawan
Perempuan itu lebih besar dari pada peradaban yang dihasilkan pada setiap zamannya. Barangkali itulah kesan dari seni tapestri mbak Ima Novilasari. Dalam karya tapestrinya, gagasan perempuan mampu mengangkangi semua hasil kebudayaan laki-laki. Representasi dari hal tersebut dapat dilihat dari simbol perempuan diposisikan lebih tinggi dari mercusuar suatu hasil perdaban. Tampak dalam lukisannya, perempuan yang gesit berdiri di atas bangunan menara. Taman kehidupan dan gunung kemakmuran juga tampak lebih rendah dari perempuan itu sendiri.
Perempuan dalam tapestri “Kebangkitan Pembangkang Jawa” dengan gamblang memberi altar kehidupan yang cerah. Sejauh mata memandang dan sekuat gerakan tangannya, telah memberi sinar kehidupan yang penuh dengan harapan di masa depan. Kontras dibalik itu, cahaya hitam semakin kental, sejalan dengan sejauh mata memandang dan lemahnya sentuhan tangan sang perempuan. Cahaya kehidupan itu benar-benar ada. Perempuan dalam tapestri Ima menjadi representasi kebangkitan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkakas dan kehidupan menjadi jelas, tidak lagi suram.
Namun dibalik itu, sang pembangkang digambarkan dalam posisi terancam. Memang posisi perempuan (dalam karya tapestrinya) digambarkan telah mampu menampaki hierarki puncak. Tetapi dibalik puncak kuasa tersebut, perempuan terancam hanyut dengan terpaan badai yang tidak dianggap bencana oleh zaman. Perempuan yang dilukis dalam rajutan tanpa kaki terlihat. Padahal, kaki ibarat kuda, yaitu kekuatan dalam hidup, dan ukuran seberapa kuat dalam zamannya.
Merah dalam busana bawahannya, adalah tanda sekaligus penanda dari marabahaya. Perempuan harus selalu hati-hati, walaupun yang dilahirkan adalah laki-laki. Mereka yang dilahirkan tidak selalu menjadi jaminan. Karena yang terlahir cenderung acuh dengan perempuan itu sendiri. Lihat saja kedua burung yang dilukiskan, tidak satupun memandang kebesaran sang perempuan. Namun perempuan juga tidak peduli dengan generasi yang dilahirkan. Perempuan tetap memandang ke atas, menjadi pusaran keadilan antara kehidupan sosial dan kehidupan di-akhir nanti (lihat karya tapestri Ima yang kedua, dengan tema “Keadilan Kodrati”, dalam katalog Femalektika, 2016). Bawahan busana merah, dan rajutan atasan emas dengan bingkai pohon hayat yang ranum, telah menenangkan sang pembangkan dalam gerakannya. Seakan, dalam karyanya, Ima ingin menyampaikan, bahwa pada dasarnya perempuan adalah penguasa yang tidak ingin dikuasai oleh zamannya. Perempuan telah memiliki segalanya. Keberanian, siasat, keindahan, keseimbangan, ruang, waktu, cahaya, dan semua hasil peradaban yang ada.
Kagum sekaligus ketakutan
Ilustrasi: Buku Katalog Pameran Seni Lukis, Femaletika, 2016
Tampak perempuan bersanggul, gunungan, dan harmoni alam, merupakan simbol perempuan khas Jawa. Namun perlu diingat, karya seni tapestri Ima dengan tegas memposisikan perempuan di atas mercusuar. Jika ditilik dari kajian perempuan Jawa, sangat langka ditemukan siasat perempuan yang vulgar. Walaupun perempuan lebih berkuasa dalam kehidupan, perempuan cenderung memposisikan dibelakang. Posisi perempuan dalam karyanya adalah representasi dari keprihatikan Ima Novilasari terhadap perilaku kita (perempuan) dalam memaknai dan memfungsikan perjuangan sang Pembangkang.
Dalam karya tapestrinya ada interaksi antara Pelukis dengan Sang Pembangkang, yaitu tentang kekaguman sekaligus ketakutan dalam menanen perjuangan sang Pahlawan Nasional, Raden Ajeng Kartini.
Pelukis jujur bahwa Ia belum mampu menandingi Kartini. Mulai dari kehidupannya yang mampu tegar dalam nuansa patrialkhal, mulai dari gagasannya yang sepi dari arah matrilineal, hingga dimulainya yang membangkang dari arus politik feodal, adalah bukti bahwa kekaguman terhadap Raden Ajeng Kartini itu sangat tampak. Bagaimana dengan perempuan sekarang? Apakah banyak dari teman (perempuan) pelukis juga merasa kagum?
Disisi kegaguman, pelukis juga mengekspresikan ketakutan dalam seni tapestrinya. Perempuan di atas singgasana tanpa landasan pacu kuasa. Ketakutan yang dimaksud pelukis bukanlah takut menjadi Kartini, namun takut menjadi perempuan penikmat perjuangan Kartini.
Hari ini perempuan Indonesia, bahkan dunia, dalam masa keemasan dalam memanen arus Kartinian. Perempuan meraih hak belajar, perempuan meraih hak bekerja, perempuan meraih hak sejahtera, perempuan meraih hak berkuasa, perempuan meraih hak kesehatan, dan perempuan meraih hak kebebasan, merupakan pengaruh meanstrim kartinian yang sungguh besar. Namun Ima Novilasari juga tidak menutup mata bahwa ada masalah dalam menggunakan turunan fungsi sang Pembangkang Jawa ini.
Kegelisahan tersebut dapat dibaca pada narasinya, yaitu perempuan cenderung membangkang terhadap asal usulnya, perempuan cenderung membangkang terhadap bahasanya, dan perempuan cenderung membangkang terhadap sikap tidak hormat terhadap tetuanya. Terlebih kasus-kasus seperti halnya PRT dan potret perbudakan masa kini, PSK dan kontekstualisasi poligami, free seks dan korban hamil di luar nikah, teknologi pembangkit pernikahan dini, pemerkosaan, hingga citra kecantikan dan eksploitasi perempuan, tidak sulit untuk ditemui. Lantas bagaimana dalam menyikapi kebangkitan Pembangkang Jawa ini? Kapan membangkan dan apa yang perlu dibangkang? Teriring salam hormat, kunanti jawaban karya dari mbak Ima Novilasari berikutnya.
Rembang, 11 Mei 2016
0 komentar